Sabtu, 29 November 2008

Dewi Mulih dan para mahasiswa JKL / AKL / Kesling / Kesehatan Lingkungan Poltekkes Depkes Yogyakarta saat Praktik Lapangan di Sragen


Bioterorisme: Saat Membunuh Manusia Sama dengan Menebang Pohon

Sains selalu bisa diplesetkan menjadi hal yang keji. Sejarah sudah membuktikannya. Lalu apa hubungan bioterorisme dan bioteknologi? Apakah bioteknologi punya kans dijadikan ajang terorisme juga? Bagian kedua dari dua tulisan.

Sebuah proyek spesial, dengan kode nama “Maruta”, menggunakan manusia sebagai bahan eksperimen. Subyek eksperimen dikumpulkan dari populasi yang mengelilingi markas unit. Istilah “Maruta” ini digunakan para ilmuwan unit 731, karena menurut mereka membunuh seorang manusia adalah sama saja seperti menebang pohon. Subyek yang digunakan untuk percobaan adalah merentang dari anak-anak, sampai orang tua, kepada wanita hamil juga bayi. Banyak percobaan yang dilakukan tanpa menggunakan anastesi (vivisection), karena dipercaya anastesi akan mengganggu hasil percobaan.

Para ilmuwan Jepang menguji kuman kolera, cacar, botulinum dan berbagai penyakit lainnya kepada tahanan. Riset mereka telah berhasil membuat bom defoliasi basili untuk menyebarkan penyakit bubonik. Beberapa bom ini dibuat dengan selongsong keramik, yang diusulkan oleh Shiro Ishi pada tahun 1938. Teknologi ini memungkinkan Jepang untuk melakukan serangan senjata biologis dengan mencemari pertanian, cadangan air, sumur dan berbagai tempat dengan berbagai macam patogen.

Unit 731

Kompleks unit 731 memiliki berbagai fasilitas produksi. Ia memiliki 4500 kontainer untuk membiakkan kutu-kutuan dan 1800 kontainer untuk memproduksi agen biologis. Sekitar 30 kg bakteri bubonik dapat diproduksi dalam jangka waktu beberapa hari.

Pemerintah Jepang sampai hari ini menyangkal keberadaan unit 731. Menurut sumber resmi pemerintah Jepang, unit 731 tidak lain adalah sesuatu isu yang dibuat-buat sebagai propaganda pihak China untuk menyudutkan Jepang. Namun di tahun 2002, pengadilan distrik Tokyo mengeluarkan fatwa hukum yang mengakui keberadaan unit 731 dan aktivitas bioterorismenya, namun tetap menegaskan bahwa pampasan perang kepada China telah dibayar sesuai perjanjian China-Jepang tahun 1972. Pengadilan tetap menolak setiap klaim individu bekas tahanan unit 731 yang kadang-kadang mengajukan tuntutan pada pengadilan di Jepang.

Pada tahun 2005 ini, Profesor Keiichi Tsuneishi dari universitas Kanagawa menemukan sebuah dokumen di arsip nasional Amerika Serikat yang menyatakan, bahwa pemerintah Amerika memang benar telah membeli informasi percobaan unit 731. Motivasi dari pembelian informasi ini adalah untuk memperluas skala percobaan senjata biologis milik Amerika Serikat sendiri, dalam konteks perang dingin waktu itu melawan Uni Soviet. Penulis percaya bahwa tulisan mengenai unit 731 ini cukup objektif, sebab tidak hanya dikonfirmasi dari sumber-sumber Amerika Serikat saja, namun juga sumber-sumber dari Korea dan bahkan dari Jepang sendiri. Sumber literatur dari China tidak bisa dimasukkan karena tertulis dalam bahasa China.

Bioterorisme dan Bioteknologi

Tipe patogen yang bisa diaplikasikan untuk bioterorisme merentang dari Salmonela sampai bakteri supervirulen yang dapat menyebabkan penyakit bubonik, yang dimodifikasi dengan teknologi rekombinasi DNA. Ada juga racun seperti Ricin, dan virus Ebola. Baru-baru ini NATO telah mengumpulkan data berisi 39 agen biologis yang bisa digunakan sebagai senjata biologis oleh teroris.

Bioteknologi dapat digunakan dalam pengembangan dari patogen dengan virulensi lebih tinggi dan ketahanan yang lebih terhadap antibiotik bila berada di tangan yang salah. Namun sains juga dapat digunakan dalam pengembangan biodefensif. Indikasi peringatan awal, prosedur diagnostik yang tepat, terapi, vaksin, indentifikasi patogen, dan obat-obatan baru adalah beberapa area dimana bioteknologi dapat membantu menangkal bioterorisme.

Tujuan utama dari bioterorisme preventif (biodefensif) adalah produksi dan penumpukan vaksin dan pengembangan sistem peringatan dini terhadap serangan bioterorisme. Pemetaan genom juga menjanjikan untuk memfasilitasi pemgembangan biodefensif dan dekontaminasi patogen. Sebuah proyek penelitian yang sedang berjalan di universitas Michigan adalah mengembangkan mekanisme untuk membunuh antrax, dengan menggunakan larutan dari droplet minyak kedelai. Droplet dari emulsi ini bergabung dengan membran bakteri dengan reaksi kimia tertentu, sehingga mampu droplet memiliki cukup tenaga untuk menghancurkan spora bakteri.

Penggunaan senjata biologis memerlukan kultur, pemurnuan, stabilisasi, dan produksi skala besar dari patogen, juga pengembangan dari mekanisme pemaparan yang efisien. Sebagai contoh, pemaparan dari spora bakteri dengan ukuran ideal untuk memasuki bronkeolus dari paru-paru merupakan tantangan bagi teroris yang tidak memiliki pengetahuan akan sains. Para ilmuwan percaya, bahwa tidaklah susah untuk menemukan program bioterorisme di pasar gelap internasional. Salah satu pemicunya adalah ribuan ahli senjata biologis dari Uni Soviet kehilangan pekerjaannya ketika Soviet bubar tahun 1991. Diduga mereka melibatkan diri dalam program bioterorisme di pasar gelap.

Daftar pustaka

  • Alibek, Ken. 1999. Biohazard. Arrow.London.
  • Borem, Aluzio et al, Understanding Biotechnology, Prentice Hall 2003.
  • Hayes, Declan, Japan the toothles tiger (a provocative look at Japan’s expanding role in the future of Asia), tuttle publishing, 2001.
  • University of Pitsburg public health department, http://www.upmc-biosecurity.org/pages/agents/botulism/botulism_faq_2005.html, 2005.
  • Definition of Bioterrorism & Agroterrorism, Google search engine, http://www.google.com , 2005.
  • Ojong, PK, Perang Pasifik, Penerbitan Kompas 2004.
  • Ojong, PK, Perang Eropa I-III, Penerbitan Kompas 2005.
  • Wikipedia free encyclopedia, http://www.wikipedia.com , 2005.
  • Global Security organisation, http://www.globalsecurity.org , 2005
  • Theodicy, through the case of unit 731, Eun Park http://people.bu.edu/wwildman/WeirdWildWeb/courses/thth/projects/thth_projects_2003_parkeun.htm

Kredit foto: http://www.worldwartwobooks.co.uk/shopimages/products/thumbnails/unit%20731%20300907.jpg

Di Posting Oleh : Dorin Mutoif, Jurusan AKL/JKL/KESLING/kESEHATAN LINGKUNGAN Politeknik Kesehatan DEPKES Yogyakarta..

Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Munggu, Petanahan, Kebumen, Jawa Tengah, 54382


Rabu, 26 November 2008

10 “Takdir” Keturunan yang Sulit Dicegah

Dorin Mutoif dan Ibu Hani Istisqo saat di Surabaya

10 “Takdir” Keturunan yang Sulit Dicegah

“Memang sudah dari sananya,” adalah ungkapan yang sering kita dengar jika berkomentar tentang perilaku atau sifat seseorang. Artinya, memang sudah takdirnya. Apakah takdir itu jika ditinjau dari sains? Yang jelas, ada faktor keturunan yang bisa menjadi takdir seseorang untuk mengalami suatu hal yang sama dengan orangtuanya. Berikut ada 10 kondisi pada manusia yang bersikap “takdir” keturunan.

1. Alkoholisme

Anak-anak penderita alkoholik tidak ditargetkan menjadi pecandu alkohol juga. Tapi studi terbaru mengungkap bahwa sekitar 50 persen anak para alkoholik berisiko menderita nasib serupa dengan orangtuanya. Sebesar 50 persennya lagi akan ditentukan oleh lingkungan. Ini disebabkan sejumlah gen pada orangtua menurun ke anak, sejenis gen ketergantungan.

2. Kanker Payudara

Penyebabnya memang masih misteri, namun ilmuwan sudah menemukan bahwa terjadi mutasi sejumlah gen seperti BRCA1 dan BRCA2 adalah pemicunya. Perempuan yang mewarisi mutasi gen ini akan menderita kanker payudara. Sedangkan kaum lelakinya akan mengalami risiko kanker prostat.

3. Buta Warna

Sebanyak 10 juta lelaki AS tak bisa membedakan mana merah dan hijau. Gangguan pengelihatan ini memang lebih banyak diderita Kaum Adam. Mengapa? Sebab gen reseptor warna hijau dan merah berada di posisi dekat kromosom X.

4. Kekerasan

Mengerikan juga jika seorang ayah yang suka melakukan kekerasan akan menurun pada anaknya. Perilaku agresif anak lelaki biasanya diturunkan dari gen ayahnya. Bukan hanya kebiasaan melakukan kekerasan, melainkan juga perilaku antisosial dan suka mencuri. Gen suka mencuri ini lebih banyak bekerja pada perempuan.

5.Obesitas
Kegemukan tak selamanya akibat lingkungan.
Banyak kasus dimana orang memangvsulit menahan nafsu makannya. Ini disebabkan ada gen yang membuat fungsi penahan nafsu makan tidak bekerja dengan baik. Dan gen ini menurun. jadi jangan heran jika menjumpai satu keluarga yang bertubuh gemuk semua.

6. Penyakit Jantung

Jika punya anggota keluarga menderita diabetes atau stroke, bisa dipastikan akan menderita gangguan jantung. Anak dari orang tua penderita gangguan jantung dan peredaran darah akan mewarisi penyakit tersebut. Ditambah lagi pasien gagal jantung juga akan menurunkan penyakit serupa.

7. Saudara Kembar

Ingin memiliki saudara kembar? Periksa dulu apakah ada kembar dalam keluarga kita. Kasus kembar ini dipicu oleh suatu gen yang membuat seorang ibu melepaskan sel telur multipel selama evaluasi. Keturunan kembar ini tidak selalu menurun langsung ke anak-anak, bisa melompat ke cucu atrau sepupu.

8. Jerawat

Anda berjerawat parah? Agak sulit disembuhkan jika memang kedua orangtua kita berjerawat juga. Studi mempelihatkan banyak anak usia sekolah berjerawat juga memiliki riwayat berjerawat pada keluarganya.

9. Tak Doyan Susu

Ada sebagian orang yang tak bisa minum susu hewani dengan kandungan zat laktosa. Memang tubuh mereka tak mampu menoleransi laktosa sama sekali. Untuk bayi, biasanya disediakan susu kedelai dengan kandungan laktosa rendah. Kondisi seperti ini juga bersifat menurun dalam anggota keluarga.

10. Kebotakan

Walau kebotakan dianggap biasa pada kaum lelaki, ternyata hal itu juga dipicu oleh keturunan. Ada gen yang diturunkan oleh salah satu pihak orangtua atau keduanya yang menyebabkan si anak juga menderita kebotakan. Ada juga orang yang menderita kebotakan permanen yang pastinya juga disebabkan oleh satu jenis gen.

Di Posting Oleh : Dorin Mutoif, Poltekkes DEPKES Yogyakarta Jurusan AKL/JKL/KESLING/kESEHATAN LINGKUNGAN Politeknik Kesehatan DEPKES Yogyakarta..

Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Munggu, Petanahan, Kebumen, Jawa Tengah, 54382



Rabu, 19 November 2008

Keberpasangan: dari Teori Fisika, Ayat Al Quran dan Alkitab


Foto Saat Di Pantai Karang Bolong

Keberpasangan: dari Teori Fisika, Ayat Al Quran dan Alkitab

Selasa, 18 Nopember, 2008 oleh Jaki Umam

(Ditujukan kepada Dr. Laksana Tri Handoko dan Dr. Terry Mart)

Suatu hari, tanpa arah dan tujuan, saya jalan-jalan di Mal Pondok Indah, Jakarta Selatan. Saya menyusuri gang demi gang mal yang luar biasa besar tersebut. Sewaktu saya lewat di depan sebuah stand pakaian, seorang cewek tiba-tiba menabrak bahu saya. Sontak saya kaget, dan dengan lemah-lembut dia mengatakan: “Eh, maaf yach mas!”. Namun setelah itu, seorang cowok kekar di sampingnya tiba-tiba mengumbar pandangan yang penuh amarah, dan dengan nada sangat maskulin ala Elmanik baru bangun tidur berucap: “Jangan macam-macam, mas!”. Hampir saja kepalan tangannya mendarat di muka saya. Untungnya si cewek buru-buru meredam amarahnya: “Sudahlah Lex, itu salah saya!” (mungkin namanya Alex).

Sepintas insiden itu bukanlah hal yang luar biasa. Namun setelah saya perhatikan, ada rahasia tersembunyi di balik itu. Setelah kejadian itu, sebuah pertanyaan sering mengganggu: “Mengapa ada karakter yang sangat bertolak belakang antara laki-laki dan perempuan?”. Beberapa pekan kemudian, saya membaca Alquran dan menemukan ayat: “Mahasuci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa-apa yang tidak mereka ketahui (QS. 36:36)”. Terinspirasi ayat tersebut, pikiran saya memunculkan sebuah asumsi bahwa keberpasangan adalah prinsip fundamental yang mendasari semua hal. Bagaimana caranya?

Pola keberpasangan terlihat sangat indah dan teratur. Setiap kasus keberpasangan selalu melibatkan dua objek dengan sifat-sifat alami yang saling bertolak belakang. Ini hukum alam. Kalau selama ini saya bertanya, mengapa laki-laki cenderung maskulin sedangkan perempuan cenderung feminim? Atau pertanyaan, mengapa orang suka terhadap yang baik-baik sedangkan yang buruk-buruk selalu dibenci? Setidaknya hal itu telah dijawab oleh keberpasangan.

Eksistensi

Bayangkan kalau tidak ada yang namanya ‘tidak ada’, pasti sesuatu yang namanya ‘ada’ juga tak akan pernah ada, dan begitupun sebaliknya. Kalau tidak ada orang ‘jahat’, mestinya tidak ada juga orang yang disebut ‘baik’, begitu juga sebaliknya. Kalau tidak ada jenis kelamin ‘laki-laki’, tentu yang namanya ‘perempuan’ juga tak akan pernah dikenal, begitu pun sebaliknya. Semua hal akan didapatkan selalu dengan pasangannya, karena eksistensi sesuatu adalah satu-satunya pembanding dari eksistensi pasangannya. Dengan kata lain, keberpasangan akan selalu muncul sebagai kebutuhan akan pembanding keberadaan suatu objek.

Bahkan dari permulaan munculnya, ilmu pengetahuan telah sangat akrab dengan kasus-kasus keberpasangan. Dalam kelas biologi telah dikenal model materi kehidupan elementer yang penuh dengan pasangan-pasangan basa Nitrogen. Dalam kelas kimia juga telah didapatkan reaksi eksoterm dan reaksi endoterm. Dan kasus yang paling banyak ditemui adalah dalam kelas fisika: spin atas dan spin bawah, materi dan anti-materi, muatan positif dan muatan negatif, gaya tarik dan gaya tolak, gelombang dan partikel, dan sebagainya.

Dalam Tafsir Al-Misbah disebutkan mengenai tafsir dari QS. 36:36. Sebagian ulama menyatakan bahwa makna ‘pasangan’ dalam ayat itu hanya berlaku pada makhluk hidup saja. Namun Dr. Quraisy Shihab tak begitu sependapat dengan pernyataan tersebut. Menurutnya, pendapat ini tidak sejalan dengan makna kebahasaan, tidak cocok dengan maksud sekian banyak ayat Alquran, dan berbagai kenyataan ilmiah yang ditemukan dewasa ini. Dari segi bahasa, kata azwaj (pasang-pasangan) adalah bentuk jamak dari kata zauj (pasangan). Menurut pakar kebahasaan, Ar-Raghib Al-Ashfahain, kata ini digunakan untuk masing-masing dua hal yang berdampingan atau bersamaan, misalnya jantan dan betina. Kata itu juga digunakan untuk menunjuk hal yang sama bagi selain binatang, seperti alas kaki. Selanjutnya beliau menegaskan bahwa keberpasangan tersebut bisa akibat kesamaan dan bisa juga karena bertolakbelakang. Ayat-ayat Alquran yang lain pun menggunakan kata tersebut dalam pengertian umum, bukan hanya untuk makhluk hidup, misalnya pada Alquran 51:49. Dari sini ada siang ada malam, senang-susah, atas-bawah, dan seterusnya. Semua hal (maksudnya makhluk) memiliki pasangannya, hanya Allah saja yang tidak berpasangan, tidak ada pula yang sama dengan Dia. Dari segi ilmiah, misalnya terbukti bahwa muatan listrik pun berpasangan: positif dan negatif. Demikian juga dengan atom, yang tadinya diduga sebagai unit terkecil dan tidak dapat dibagi, ternyata ia pun berpasangan. Atom terdiri dari proton dan elektron.1

Premis Lugas

QS. 36:36 mengandung premis yang sangat lugas (eksplisit). Kelugasan ini menjadi penuh resiko manakala ia mencuatkan implikasi yang tidak main-main. Kalau betul-betul ada ‘sesuatu’, dalam teks dan konteks apapun, yang tidak ada pasangannya, tentu itu tidak diperbolehkan. Kalaupun itu memang ada, maka itu akan menjadi alasan yang sangat kuat untuk mencoret Alquran dari daftar kitab suci. Oleh karena itu, ayat tersebut harus memiliki implikasi ilmiah, bahwa keberpasangan adalah sifat mendasar yang melandasi semua hal di semesta. Ayat ini bisa diuji, misalnya dengan asumsi bahwa keberpasangan merupakan prinsip fundamental dalam fisika.

Suatu ketika Einstein duduk di sebuah gerbong kereta api di samping jendela. Ketika kereta mulai melaju, beliau dengan sangat meyakinkan merasakan bahwa kereta itu sedang bergerak. Di tengah-tengah perjalanan, ketika kecepatan kereta optimum tanpa akselerasi, Einstein melihat pohon-pohon di luar jendela. Beliau melihat pepohonan yang ada di samping rel seolah-olah bergerak menjauhi kereta. Andai saja gerbong yang beliau tumpangi sama sekali tertutup, dan hanya menyisakan sejumlah kecil spasi untuk jendela, tentu beliau akan kesulitan membedakan sebetulnya siapa yang sedang bergerak: kereta yang ditumpanginya atau pohon-pohon itu? Itulah fenomena relativitas.2

Fenomena relativitas telah diteliti dengan seksama oleh Newton. Mekanika yang dikembangkannya berangkat dari asumsi bahwa ruang dan waktu bersifat terpisah dan absolut—tak perlu kerangka acuan untuk mengukurnya. Einstein melihat ada kejanggalan dalam konsep Newton. Butuh waktu bertahun-tahun sebelum Einstein memahami kejanggalan itu.

Dalam tahun 1905, keraguan dramatis atas keabsolutan ruang dan waktu diungkapkan Einstein. Perhitungan Einstein menjungkirbalikkan anggapan dasar tentang eksistensi ruang dan waktu. Satu hal beliau garisbawahi bahwa setiap gerak di bagian manapun di semesta ini adalah relatif. Maksudnya, pergerakan benda tidak bisa didefinisikan tanpa adanya kerangka acuan untuk mengukurnya. Misalnya perumpamaan gerbong kereta api di atas. Anda tidak akan pernah bisa membedakan sebenarnya siapa yang sedang bergerak, kereta yang Anda tumpangi atau pohon-pohon yang ada di sisi rel, seandainya saat itu Anda sedang berada di situ. Anda akan tahu yang sebenarnya terjadi kalau Anda berada di luar sistem, misalnya di sisi rel, sehingga definisi gerak kereta hanya bisa ditentukan dengan kerangka acuan itu. Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa gerak benda dan kerangka acuan adalah dua hal yang niscaya berpasangan.

Perseteruan

Dalam abad 20, terjadi perseteruan hebat antara Fisika Relativitas dan Fisika Kuantum. Pada akhir Oktober 1927, atas prakarsa pengusaha sabun kaya raya, Ernst Solway, pertama kali diselenggarakan pertemuan paling penting dalam sejarah sains modern. Pertemuan ini terkenal dengan sebutan Konferensi Solway, bertempat di Hotel Metropole, Brussel, Belgia. Pertemuan pertama ini menjadi sangat terkenal lantaran terjadi perseteruan antara dua pemikir garis depan, Niels Bohr dan Albert Einstein. Perseteruan tersebut dipicu oleh pengumuman Bohr tentang tafsirannya terhadap Teori Kuantum, yang kemudian terkenal dengan sebutan Aliran Kopenhagen.

Aliran Kopenhagen memperkenalkan dua prinsip paling mendasar dalam fisika, yakni Prinsip Saling Melengkapi (dalam kaitannya dengan konsep materi) dan Prinsip Ketidakpastian (dalam kaitannya dengan konsep ruang-waktu). Masalahnya timbul manakala Einstein secara terbuka menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Prinsip Ketidakpastian, yang diyakini sebagai pengganti Prinsip Sebab-Akibat. Setiap jamuan teh sore hari, Einstein selalu menyerang prinsip-prinsip Bohr. Ia merancang berbagai percobaan pikiran untuk menemukan berbagai kontradiksi dalam prinsip tersebut. Namun selalu saja Bohr mampu menemukan kelemahan konsep Einstein dan mementahkannya.

Pada konferensi selanjutnya, tahun 1930, Einstein mengajukan apa yang disebutnya sebagai paradoks kotak cahaya, yang dirancang untuk menggugurkan ketidakpastian. Ia mengambarkan kotak penuh cahaya dan menganggap energi foton dan waktu pancarannya bisa ditentukan secara pasti. Waktu dan energi adalah sepasang variabel yang memenuhi Prinsip Ketidakpastian. Caranya kotak ditimbang terlebih dahulu. Dengan pengatur cahaya yang dijalankan jam di dalam kotak, satu foton dipancarkan. Lalu kotak tersebut ditimbang lagi untuk mengetahui massanya. Kalau perubahan massanya diketahui, maka energi foton dapat dihitung dengan persamaan E=mc2. Perubahan energi diketahui dengan tepat, begitu juga waktu pancaran fotonnya, sehingga gugurlah Prinsip Ketidakpastian.

Percobaan pikiran ini membuat Bohr kelimpungan. Semalam suntuk ia mencari kelemahan hujah Einstein. Pagi harinya Bohr menggambarkan kotak cahaya. Dengan gigih, ia mematahkan argumen Einstein: “Ketika foton dipancarkan terjadi sentakan yang menyebabkan ketidakpastian posisi jam dalam medan gravitasi bumi. Ini menyebabkan semacam ketidakpastian pencatatan waktu berdasarkan asumsi Teori Relativitas Umum”.

Einstein sejauh itu kalah dalam berbagai adu argumentasi dengan Bohr. Namun perseteruan berlanjut hingga tahun 1935, ketika ia menetap di Amerika Serikat dan menjadi guru besar di Institute for Advanced Study, Princeton. Einstein mengajukan paradoks yang sampai sekarang masih diperdebatkan. Bersama dua kolega mudanya, Boris Podolsky dan Nathan Rosen, ia mengajukan masalah yang terkenal dengan sebutan Paradoks EPR (Einstein-Podolsky-Rosen) untuk meruntuhkan Prinsip Ketidakpastian.

Kalau ada sepasang partikel, misalnya A dan B, dalam keadaan tunggal atau kedua spinnya saling meniadakan (berpasangan). Keduanya bergerak saling menjauh dalam arah tertentu. Suatu ketika spin A ditemukan dalam keadaan ‘atas’. Karena kedua spin harus saling meniadakan, maka dalam arah yang sama spin B harus dalam keadaan ‘bawah’. Fisika klasik sama sekali tidak mempersoalkan hal ini. Cukup disimpulkan bahwa spin B harus selalu ‘bawah’ sejak pemisahan. Masalahnya mulai tampak manakala Aliran Kopenhagen memperlakukan spin A selalu tak pasti sampai ia diukur dan harus mempengaruhi B seketika itu juga, yaitu mengatur agar spin B berpasangan dengannya. Ini berarti ada aksi pada jarak atau komunikasi yang lebih cepat dari kecepatan cahaya, yang tidak bisa diterima. Einstein dan para koleganya mengusulkan apa yang disebut Prinsip Lokalitas sebagai jalan tengah paradoks ini, sehingga ia mengartikannya sebagai kealpaan Aliran Kopenhagen. Kalau sistem tersebut dipisahkan satu sama lain, pengukuran yang satu tentu tidak akan berpengaruh terhadap yang lain. “Jangan pernah lupakan Teori Relativitas Khusus saya: tidak ada yang lebih cepat dari cahaya”, demikian Einstein menegaskan.

Meskipun demikian, Bohr tetap tidak setuju terhadap konsep pemisahan tersebut. Ia segera mengingatkan Einstein dan semua penyokong sains bahwa mazhabnya selalu menegaskan bahwa mekanika kuantum sangat tidak memperbolehkan pemisahan antara pengamat dan yang diamati. Dua elektron dan pengamat adalah bagian dari satu sistem yang utuh. Jadi, percobaan EPR, menurut dia, tidak membuktikan ketidaklengkapan Teori Kuantum. “Sangat naif anggapan bahwa sistem atom dapat dipisah-pisah. Sekali dikaitkan, sistem atom tak akan pernah terpisahkan”, demikian Bohr menegaskan.3

Dalam pengamatan-pengamatan selanjutnya didapatkan bahwa Prinsip Ketidakpastian berlaku dalam dunia skala kecil dan dapat diabaikan dalam dunia skala besar. Sebaliknya, sebab-akibat berlaku dalam dunia skala besar dan dapat diabaikan dalam dunia skala kecil. Pola yang sangat teratur itu memperlihatkan adanya relasi keberpasangan. Bahwa sebab-akibat maupun ketidakpastian bukanlah dua hal yang saling mengalahkan satu sama lain. Mereka berlaku kedua-duanya, berdampingan, dan sederajat, sebagai sebuah keberpasangan. Alat ukur fisikawan yang tidak bisa lebih halus lagi dari gelombang elektromagnetik menyebabkan usikan-usikan terhadap objek pengamatan. Bagi objek-objek halus seperti elektron, usikan itu akan sangat mengganggu ketelitian pangukuran, sedangkan bagi objek-objek yang kasat mata seperti bola, meja, bintang, planet, dan sebagainya, usikan-usikan itu tidaklah berarti. Maka diyakini bahwa pengaruh ketidakpastian sangat kuat dalam dunia partikel subatomik dan diabaikan dalam dunia skala besar, sedangkan pengaruh sebab-akibat Newton dapat diamati dalam dunia skala besar bintang dan diabaikan pada dunia partikel subatomik.

Selain kasus-kasus di atas, mestinya masih banyak kasus keberpasangan lain dalam fisika. Kasus-kasus di atas ditemukan setelah konsep-konsepnya mapan. Kalau prosesnya diperluas, yakni mengintegrasikan keberpasangan dalam konsep-konsep yang belum mapan secara eksperimen, misalnya Teori Supersimetri dan Superstring, kita akan mendapatkan yang lebih banyak lagi. Tapi apakah kita bisa melakukannya?

Di Alkitab

Sekedar informasi, pada tanggal 17 November 2008, saya menemukan ayat-ayat dalam Alkitab yang menjelaskan secara eksplisit (meskipun tidak seeksplisit Alquran) mengenai keberpasangan:

“Di sana ular pohon bersarang dan bertelur, mengeram sampai telurnya menetas, burung-burung berdendang saja berkumpul di sana, masing-masing dengan pasangannya. Carilah di dalam kitab Tuhan dan bacalah: satu pun dari semua makhluk itu tidak ada yang ketinggalan dan yang satu tidak kehilangan yang lain, sebab begitulah perintah yang keluar dari mulut Tuhan, dan Roh Tuhan sendiri telah mengumpulkan mereka (Yesaya 34:15-16)”.

Disarikan dari:

1Tafsir Al-Mishbah (Quraisy Shihab)

2Seri Mengenal dan Memahami Einstein (Joseph Schwartz dan Michael

McGuinness)

3Seri Mengenal dan Memahami Teori Kuantum (JP. McEvoy dan Oscar Zarate)

foto: imagecache2.allposters.com



Di Posting Oleh : Dorin Mutoif, Poltekkes DEPKES Yogyakarta Jurusan AKL/JKL/KESLING/kESEHATAN LINGKUNGAN Politeknik Kesehatan DEPKES Yogyakarta..

Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Munggu, Petanahan, Kebumen, Jawa Tengah, 54382

K3 ( Kesehatan dan Keselamatan Kerja )

Gambar saya dan Teman-teman dari Poltekkes Depkes Yogyakarta dan Miss.Lea dari Australia

BAB III

PRINSIP DASAR MANAJEMEN RISIKO (RISK MANAGEMENT)

Zulkifli Djunaidi



III.1. Tujuan

Konsep manajemen risiko mulai diperkenalkan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja pada era tahun 1980-an setelah berkembangnya teori accident model dari ILCI dan juga semakin maraknya isu lingkungan dan kesehatan.

Tujuan dari manajemen risiko adalah minimisasi kerugian dan meningkatkan kesempatan ataupun peluang. Bila dilihat terjadinya kerugian dengan teori accident model dari ILCI, maka manajemen risiko dapat memotong mata rantai kejadian kerugian tersebut, sehingga efek dominonya tidak akan terjadi. Pada dasarnya manajemen risiko bersifat pencegahan terhadap terjadinya kerugian maupun ‘accident’.

III.1.2 Ruang Lingkup

Ruang lingkup proses manajemen risiko terdiri dari:

a. Penentuan konteks kegiatan yang akan dikelola risikonya

b. Identifikasi risiko,

c. Analisis risiko,

d. Evaluasi risiko,

e. Pengendalian risiko,

f. Pemantauan dan telaah ulang,

g. Koordinasi dan komunikasi.

III.1.2 Aplikasi

Pelaksanaan manajemen risiko haruslah menjadi bagian integral dari pelaksanaan sistem manajemen perusahaan/ organisasi. Proses manajemen risiko Ini merupakan salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk terciptanya perbaikan berkelanjutan (continuous improvement). Proses manajemen risiko juga sering dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi.

Manajemen risiko adalah metode yang tersusun secara logis dan sistematis dari suatu rangkaian kegiatan: penetapan konteks, identifikasi, analisa, evaluasi, pengendalian serta komunikasi risiko.

Proses ini dapat diterapkan di semua tingkatan kegiatan, jabatan, proyek, produk ataupun asset. Manajemen risiko dapat memberikan manfaat optimal jika diterapkan sejak awal kegiatan. Walaupun demikian manajemen risiko seringkali dilakukan pada tahap pelaksanaan ataupun operasional kegiatan.

Beberapa contoh penerapannya dapat dilihat pada lampiran A.

III.1.4 Definisi

1. Konsekuensi

Akibat dari suatu kejadian yang dinyatakan secara kualitatif atau kuantitatif, berupa kerugian, sakit, cedera, keadaan merugikan atau menguntungkan. Bisa juga berupa rentangan akibat-akibat yang mungkin terjadi dan berhubungan dengan suatu kejadian.

2. Biaya

Dari suatu kegiatan, baik langsung dan tidak langsung, meliputi berbagai dampak negatif, termasuk uang, waktu, tenaga kerja, gangguan, nama baik, politik dan kerugian-kerugian lain yang tidak dinyatakan secara jelas.

3. Kejadian

Suatu peristiwa (insiden) atau situasi, yang terjadi pada tempat tertentu selama interval waktu tertentu.

4. Analisis Urutan Kejadian

Suatu teknik yang menggambarkan rentangan kemungkinan dan rangkaian akibat yang bisa timbul dari proses suatu kejadian.

5. Analisis Urutan Kesalahan

Suatu metode sistem teknik untuk menunjukkan kombinasi-kombinasi yang logis dari berbagai keadaan sistem dan penyebab-penyebab yang mungkin bisa berkontribusi terhadap kejadian tertentu (disebut kejadian puncak).

6. Frekuensi

Ukuran angka dari peristiwa suatu kejadian yang dinyatakan sebagai jumlah peristiwa suatu kejadian dalam waktu tertentu. Terlihat juga seperti kemungkinan dan peluang.

7. Bahaya (hazard)

Faktor intrinsik yang melekat pada sesuatu dan mempunyai potensi untuk menimbulkan kerugian.

8. Monitoring/ Pemantauan

Pengecekan, Pengawasan, Pengamatan secara kritis, atau Pencatatan kemajuan dari suatu kegiatan, tindakan, atau sistem untuk mengidentifikasi perubahan-perubahan yang mungkin terjadi.

9. Probabilitas

Digunakan sebagai gambaran kualitatif dari peluang atau frekuensi.

Kemungkinan dari kejadian atau hasil yang spesifik, diukur dengan rasio dari kejadian atau hasil yang spesifik terhadap jumlah kemungkinan kejadian atau hasil. Probabilitas dilambangkan dengan angka dari 0 dan 1, dengan 0 menandakan kejadian atau hasil yang tidak mungkin dan 1 menandakan kejadian atau hasil yang pasti.

10. Risiko Ikutan

Tingkat risiko yang masih ada setelah manajemen risiko dilakukan.

11. Risiko

Peluang terjadinya sesuatu yang akan mempunyai dampak terhadap sasaran. Ini diukur dengan hukum sebab akibat. Variabel yang diukur biasanya probabilitas, konsekuensi dan juga pemajanan.

12. Penerimaan Risiko (acceptable risk)

Keputusan untuk menerima konsekuensi dan kemungkinan risiko tertentu.

13. Analisis risiko

Sebuah sistematika yang menggunakan informasi yang didapat untuk menentukan seberapa sering kejadian tertentu dapat terjadi dan besarnya konsekuensi tersebut.

14. Penilaian risiko

Proses analisis risiko dan evalusi risiko secara keseluruhan. Lihat diagram 3.1

15. Penghindaran risiko

Keputusan yang diberitahukan tidak menjadi terlibat dalam situasi risiko.

16. Pengendalian risiko

Bagian dari manajemen risiko yang melibatkan penerapan kebijakan, standar, prosedur perubahan fisik untuk menghilangkan atau mengurangi risiko yang kurang baik.

17. Evaluasi risiko

Proses yang biasa digunakan untuk menentukan manajemen risiko dengan membandingkan tingkat risiko terhadap standar yang telah ditentukan, target tingkat risiko dan kriteria lainnya.

18. Identifikasi Risiko

Proses menentukan apa yang dapat terjadi, mengapa dan bagaimana.

19. Pengurangan Risiko

Penggunaan/ penerapan prinsip-prinsip manajemen dan teknik-teknik yang tepat secara selektif, dalam rangka mengurangi kemungkinan terjadinya suatu kejadian atau konsekuensinya, atau keduanya.

20. Pemindahan Risiko (risk transfer)

Mendelegasikan atau memindahkan suatu beban kerugian ke suatu kelompok/ bagian lain melalui jalur hukum, perjanjian/ kontrak, asuransi, dan lain-lain. Pemindahan risiko mengacu pada pemindahan risiko fisik dan bagiannya ke tempat lain.


III.2 (PRA)SYARAT MANEJEMEN RISIKO

III.2.1. Tujuan

Tujuan dari bagian ini adalah untuk menggambarkan proses formal (harus dilakukan) untuk menjalankan sebuah program manajemen risiko yang sistematik.

Perkembangan dari kebijakan manajemen risiko sebuah organisasi dan mekanisme pendukungnya diperlukan untuk memberikan pola kerja dalam menjalankan program manajemen risiko yang rinci dalam sebuah proyek atau tingkat sub-organisasi.

III.2.2. Kebijakan Manajemen Risiko

Eksekutif organisasi harus dapat mendefinisikan dan membuktikan kebenaran dari kebijakan manajemen risikonya, termasuk tujuannya untuk apa, dan komitmennya. Kebijakan manjemen risiko harus relevan dengan konteks strategi dan tujuan organisasi, objektif dan sesuai dengan sifat dasar bisnis (organisasi) tersebut. Manejemen akan memastikan bahwa kebijakan tersebut dapat dimengerti, dapat diimplementasikan di setiap tingkatan organisasi.

III.2.3. Perencanaan Dan Pengelolaan Hasil

1. Komitmen Manajemen.

Organisasi harus dapat memastikan bahwa:

a. Sistem manejemen risiko telah dapat dilaksanakan, dan telah sesuai dengan standar

b. Hasil/ performa dari sistem manajemen risiko dilaporkan ke manajemen organisasi, agar dapat digunakan dalam meninjau (review) dan sebagai dasar (acuan) dalam pengambilan keputusan.

2. Tanggung jawab dan kewenangan

Tanggung jawab, kekuasaan dan hubungan antar anggota yang dapat menunjukkan dan membedakan fungsi kerja didalam manajemen risiko harus terdokumentasikan khususnya untuk hal-hal sebagai berikut:

a. Tindakan pencegahan atau pengurangan efek dari risiko.

b. Pengendalian yang akan dilakukan agar faktor risiko tetap pada batas yang masih dapat diterima.

c. Pencatatan faktor-faktor yang berhubungan dengan kegiatan manajemen risiko.

d. Rekomendasi solusi sesuai cara yang telah ditentukan.

e. Memeriksa validitas implementasi solusi yang ada.

f. Komunikasi dan konsultasi secara internal dan eksternal.

3. Sumber

Organisasi harus dapat mengidentifikasikan persyaratan kompetensi sumber daya manusia (SDM) yang diperlukan. Oleh karena itu untuk meningkatkan kualifikasi SDM perlu untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang relevan dengan pekerjaannya seperti pelatihan manajerial, dan lain sebagainya.

III.2.4 Implementasi Program

Sejumlah langkah perlu dilakukan agar implementasi sistem manajemen risiko dapat berjalan secara efektif pada sebuah organisasi. Contoh implementasi dapat dilihat pada lampiran B. Langkah-langkah yang akan dilakukan tergantung pada filosofi, budaya dan struktur dari organisasi tersebut.

III.2.5 Tinjauan Manajemen

Tinjauan sistem manajemen risiko pada tahap yang spesifik, harus dapat memastikan kesesuaian kegiatan manajemen risiko yang sedang dilakukan dengan standar yang digunakan dan dengan tahap-tahap berikutnya.

(lihat klausa 2.2).


III.3. GAMBARAN MANAJEMEN RISIKO

III.3.1 Umum

Manajemen risiko adalah bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen proses. Manajemen risiko adalah bagian dari proses kegiatan didalam organisasi dan pelaksananya terdiri dari mutlidisiplin keilmuan dan latar belakang, manajemen risiko adalah proses yang berjalan terus menerus.

III.3.2 Elemen Utama

Elemen utama dari proses manajemen risiko, seperti yang terlihat pada gambar 3.1 meliputi:

a. Penetapan tujuan

Menetapkan strategi, kebijakan organisasi dan ruang lingkup manajemen risiko yang akan dilakukan.

b. Identifkasi risiko

Mengidentifikasi apa, mengapa dan bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya risiko untuk analisis lebih lanjut.

c. Analisis risiko

Dilakukan dengan menentukan tingkatan probabilitas dan konsekuensi yang akan terjadi. Kemudian ditentukan tingkatan risiko yang ada dengan mengalikan kedua variabel tersebut (probabilitas X konsekuensi).

d. Evaluasi risiko

Membandingkan tingkat risiko yang ada dengan kriteria standar. Setelah itu tingkatan risiko yang ada untuk beberapa hazards dibuat tingkatan prioritas manajemennya. Jika tingkat risiko ditetapkan rendah, maka risiko tersebut masuk ke dalam kategori yang dapat diterima dan mungkin hanya memerlukan pemantauan saja tanpa harus melakukan pengendalian.

e. Pengendalian risiko

Melakukan penurunan derajat probabilitas dan konsekuensi yang ada dengan menggunakan berbagai alternatif metode, bisa dengan transfer risiko, dan lain-lain.

f. Monitor dan Review

Monitor dan review terhadap hasil sistem manajemen risiko yang dilakukan serta mengidentifikasi perubahan-perubahan yang perlu dilakukan.

g. Komunikasi dan konsultasi

Komunikasi dan konsultasi dengan pengambil keputusan internal dan eksternal untuk tindak lanjut dari hasil manajemen risiko yang dilakukan.

Manajemen risiko dapat diterapkan di setiap level di organisasi. Manajemen risiko dapat diterapkan di level strategis dan level operasional. Manajemen risiko juga dapat diterapkan pada proyek yang spesifik, untuk membantu proses pengambilan keputusan ataupun untuk pengelolaan daerah dengan risiko yang spesifik.


Di Posting Oleh : Dorin Mutoif, Poltekkes Depkes Yogyakarta Jurusan JKL/AKL/Kesling/Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Depkes Yogyakarta

Kesehatan dan Keselamatan Kerja ( Occupational Health and Safety ), Fakultas Kesehatan Masyarakat ( Faculty Public Health ), Universitas Indonesia.

Munggu, Petanahan, Kebumen, jawa tengah..

Jumat, 14 November 2008

Iodine deficiency

Adik-adik BEM Direktorat Saat Latihan Dasar Kepemimpinan untuk Pelantikan dan Pengukuhan Kepengurusan BEM Dir. periode 2008 di Bumi Perkemahan Babar Sari Yogyakarta


GAKY



• Iodine deficiency occurs when iodine intake falls below recommended levels.
• It is a natural ecological phenomenon that occurs in many parts of the world.
• The erosion of soils in riverine areas due to loss of vegetation from clearing for gricultural production, overgrazing by livestock and tree-cutting for firewood, results in a continued and increasing loss of iodine from the soil.
• Groundwater and foods grown locally in these areas lack iodine.


• When iodine intake falls below recommended levels, the thyroid may no longer be able to synthesize sufficient amounts of thyroid hormone. The resulting low level of thyroid hormones in the blood (hypothyroidism) is the principal factor responsible for the damage done to the developing brain and the other harmful effects known collectively as the Iodine Deficiency Disorders (5).
• The adoption of this term emphasized that the problem extended far beyond simply goitre and cretinism (see Table 1).


Table 1. The Spectrum of Iodine Deficiency Disorders (IDD)

• FOETUS
• Abortions
• Stillbirths
• Congenital anomalies
• Neurological cretinism:
– mental deficiency,
– deaf mutism, spastic diplegia, squint
• Hypothyroid cretinism:
– mental deficiency, dwarfism,
– hypothyroidism
• Psychomotor defects

Table 1. The Spectrum of Iodine Deficiency Disorders (IDD)

• NEONATE
• Increased perinatal mortality
• Neonatal hypothyroidism
• Retarded mental and physical development
• CHILD &
• ADOLESCENT
• Increased infant mortality
• Retarded mental and physical development


Table 1. The Spectrum of Iodine Deficiency Disorders (IDD)

• ADULT
• Goitre with its complications
• Iodine-induced hyperthyroidism (IIH)
• ALL AGES
• Goitre
• Hypothyroidism
• Impaired mental function
• Increased susceptibility to nuclear radiation

From Hetzel (1983) WHO/UNICEF/ICCIDD (2001)


Pembesaran kelenjar tiroid



Table 2. Effects of Iodine Interventions and Measurements ofEconomic Benefits

• Human Populations
• EFFECTS BENEFITS
• Reductions in:
• 1. Mental deficiency 1. Value of higher work output in
• household and labour market
• 2. Deaf mutism 2. Reduced costs of medical and
• custodial care
• 3. Hypothyroidism 3. Reduced educational costs from
• reduced absenteeism and grade
• repetition
• 4. Goitre 4. Reduced costs of investigation
• and treatment
• From: Levin et al (1993)













• Several international groups have made recommendations, which are fairly similar. ICCIDD, WHO, and UNICEF recommend the following daily amounts:
• age 0-7 years, 90 micrograms (mcg)
• age 7-12 years, 120 mcg
• older than 12 years, 150 mcg
• pregnant and lactating women, 200 mcg


Correction of iodine deficiency

An iodine deficient environment requires the continued addition of iodine, which is most conveniently and cheaply achieved by the addition of iodine to the salt supply. Most humans eat salt in roughly the same amount each day.

• A decrease in salt intake can be readily met by increasing the iodine content.
• Where a significant amount of processed food is consumed, it is important that the salt used by the food industry in preparing such food - as well as the salt used in the home - is iodized.



USI

• Universal salt iodization, which ensures that all salt for human and animal consumption is adequately iodized, has been remarkably successful in many countries. At this stage, however, sustainability of this successful correction of iodine deficiency becomes the challenge, as iodine deficiency may recur at any time

• In some regions, iodization of salt may not be a practical option for the sustainable elimination of IDD, at least in the short term. This is particularly likely to be the case in remote areas where communications are poor or where there are numerous very small-scale salt producers

• In such areas, other options for correction of IDD may have to be considered,such as:
– administration of iodized oil capsules every 6-18 months (10);
– direct administration of iodine solutions, such as Lugol’s iodine,at regular intervals (once a month is sufficient); or
– iodization of water supplies by direct addition of iodine solution or via a special delivery mechanism.
• government ministries (legislation and justice, health, industry,agriculture, education, communication, and finance);
• salt producers, salt importers and distributors, food manufacturers;
• concerned civic groups; and
• nutrition, food and medical scientists, and other key opinion makers.


• iodine concentration in salt at the point of production should be within the
• range of 20-40 mg of iodine per kg of salt (i.e., 20-40 ppm of iodine) in order to
• provide 150 mg of iodine per person per day. The iodine should be added as
• potassium (or sodium) iodate. Under these circumstances median urinary
• iodine levels will vary from 100-200 mg/l.


DI Posting oleh : Dorin Mutoif Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Yogyakarta
kesehatan dan keselamatan kerja, fakultas kesehatan masyarakat, universitas indonesia
D/a : Munggu, Rt.02, Rw.02, Gang Mlaten No.02 No Rumah 05, Petanahan, Kebumen, Jawa Tengah , Indonesia